HANYA KALIMAT YANG TERSUSUN DARI KATA DAN KATA YANG TERLAHIR LEWAT RASA
Mereka jarang tersenyum bukan karena mereka enggan untuk tersenyum. Tapi
hidup dan waktu seolah menuntut mereka untuk menghabiskan sebagian
besar kehidupan untuk bekerja keras sehingga terkadang mereka lupa bahwa
ada waktu untuk tersenyum. Seolah dunia begitu keras menuntut mereka
hingga mereka lupa untuk tertawa. bahkan mereka tidak punya waktu untuk
tersenyum. Apa mereka lupa cara tersenyum? Atau karena mereka tak pernah
menerima senyuman, makanya mereka tak tahu lagi bagaimana caranya
tersenyum?
Terkadang dunia memang terlalu keras pada mereka. Bukan dunia sebagai
objek, tapi dunia dengan manusianya. Bagaimana jika sesekali kita tidak
menghabiskan waktu di tempat-tempat yang indah? Kenapa kita tak
meluangkan waktu sejenak untuk memperhatikan mereka? Jika tak mau atau
tak mampu membantu mereka dengan materi, tidak ada salahnya juga kita
menghargai mereka dengan sebuah senyuman ikhlas dari wajah kita.
Bukankah mereka juga saudara kita???
Andai kita punya waktu untuk memperhatikan kehidupan mereka yang begitu
sederhana. Maka kita akan menemukan kehidupan yang begitu indah. Di sana
kita sadar betapa lebih beruntungnya kita….tidak ada salahnya sesekali
kita berjalan kaki sendirian di tengah keramaian sambil memperhatikan
lingkungan kita. Cobalah luangkan waktu sedikit saja untuk itu. Sekali
lagi, jika tak dapat memberi pada mereka, paling tidak kita bisa sadar
dan lebih memahami lagi hidup kita.
Mereka hebat. Dengan kehidupan yang begitu keras, mereka tetap bisa
menjalaninya. Meski tak tahu dengan apa hidup ini akan dilanjutkan esok
hari dan dengan apa perut mereka akan diisi, mereka tetap menanti
datangnya mentari pagi. Mereka bilang kalau mereka percaya bahwa selama
mereka masih hidup, maka rezeki dari Tuhan akan tetap ada untuk
mereka,rezeki akan tetap ada selama mereka masih percaya dan mau
berusaha serta berdo’a.
Mereka dengan kesederhaannya selalu bahagia dan bersyukur ketika
mendapatkan sejumlah uang. Jika orang kaya yang menerima uang sejumlah
itu, mungkin mereka menganggap uang itu tak berarti apa-apa. Tapi mereka
tetap tersenyum ketika mendapatkannya. Mengapa harus ada perbedaan
seperti itu?
Jika si miskin datang ke rumah si kaya, sangat jarang atau bahkan tak
akan ada sambutan hangat bagi mereka. Tapi, ketika si kaya yang datang
ke rumah si miskin, maka si miskin terlihat begitu menghargai. Seolah
mereka didatangi oleh tamu agung di rumahnya. Sekali lagi, mengapa harus
ada perbedaan seperti itu?
Jika suatu ketika si miskin dengan pakaiannya yang tampak lusuh dan
kotor terjatuh, maka si kaya tak akan menghiraukan karena mungkin bagi
mereka tidak akan menimbulkan manfaat apa-apa bagi dirinya. Yang ada
paling hanya akan mengotori pakaiannya, mungkin itulah yang ada di
fikirannya. Tapi, si miskin masih tetap berbeda dengan si kaya. Ketika
keadaan berbalik, maka si miskin akan tetap membantu. Si miskin begitu
penghiba. Hati mereka begitu lembut, sehingga tak mampu membiarkan orang
lain dalam kesusahan karena mereka tahu bagaimana rasanya kesusahan
itu.
Demi untuk sesuap nasi mereka rela kepanasan, kehujanan, bahkan kadang
ada yang mencela mereka...dengan hanya bermodal suara yang tidak begitu
merdu serta alat yang bisa di jadikan musik. Tapi itu semua tidak bisa
membuat mereka untuk menyerah, karna bagi mereka hidup itu memang penuh
dengan perjuangan dan hidup itu bukan sebuah pilihan. Jika dengan segitu
saja mereka menyerah, dengan apa nanti mereka bisa memperpanjang hidup
mereka esok.
Anak jalanan bukan lah anak nakal atau anak gembel...anak jalanan adalah sang penghibur.
Mereka selalu menghibur kita ketika kita sedang berada dalam perjalanan meski hati mereka tak terhibur.
Janganlah memandang anak jalanan dengan sebelah mata, mulai sekarang dan
seterusnya, pandang lah mereka dengan kedua mata kita dan jadikan
mereka sebagai motifasi hidup kita, karna mereka selalu bersyukur dengan
apa yang mereka dapat dan selalu berusaha agar bisa menjadi yang
terbaik.
Selasa, 06 November 2012
Peran Masyarakat Desa dan Kota dalam Pembangunan Indonesia
Masyarakat
pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama
lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar di antara keduanya terdapat hubungan yang
erat, bersifat ketergantungan, karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota
tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan
seperti beras, sayur-
mayur,
daging dan ikan.Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis
pekerjaan tertentu di kota, misalnya saja buruh bangunan dalam proyek-proyek
perumahan, proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan
tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja-pekerja musiman. Pada saat
musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan di bidang pertanian
mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat
untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
Sebaliknya, kota menghasilkan
barang-barang yang juga diperlukan oleh orang desa seperti bahan-bahan pakaian,
alat dan obat-obatan pembasmi hama pertanian, minyak tanah, obat-obatan untuk
memelihara kesehatan dan alat transportasi. Kota juga menyediakan tenaga-tenaga
yang melayani bidang-bidang jasa yang dibutuhkan oleh orang desa tetapi tidak
dapat dilakukannya sendiri, misalnya saja tenaga-tenaga di bidang medis atau
kesehatan, montir-
montir,
elektronika dan alat transportasi serta tenaga yang mampu memberikan bimbingan
dalam upaya peningkatan hasil budi daya pertanian, peternakan ataupun perikanan
darat.
Dalam kenyataannya hal ideal
tersebut kadang-kadang tidak terwujud karena adanya beberapa pembatas. Jumlah
penduduk semakin meningkat, tidak terkecuali di pedesaan. Padahal, luas lahan
pertanian sulit bertambah, terutama di daerah yang sudah lama berkembang
seperti pulau Jawa.
Peningkatan hasil pertanian hanya
dapat diusahakan melalui intensifikasi budi daya di bidang ini. Akan tetapi,
pertambahan hasil pangan yang diperoleh melalui upaya intensifikasi ini, tidak
sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga pada suatu saat hasil
pertanian suatu daerah pedesaan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
penduduknya saja, tidak kelebihan yang dapat dijual lagi. Dalam keadaan semacam
ini, kotaterpaksa memenuhi kebutuhan pangannya dari daerah lain, bahkan
kadang-kadang terpaksa mengimpor dari luar negeri. Peningkatan jumlah penduduk
tanpa diimbangi dengan perluasan kesempatan kerja ini pada akhirnya berakibat
bahwa di pedesaan terdapat banyak orang yang tidak mempunyai mata pencaharian tetap.
Mereka ini merupakan kelompok pengangguran, baik sebagai pengangguran penuh
maupun setengah pengangguran.
Sumber: https://hendraprijatna68.files.wordpress.com
Opini:
Masyarakat desa dan masyarakat kota saling berhubungan erat untuk
membangun negara Indonesia. Desa merupakan sumber kebutuhan hidup
manusia, karena sumber tanaman padi, sayur, dll berasal dari desa.
Sedangkan kota juga bermanfaat bagi desa. Hal ini sangat berhubungan
erat, maka untuk membangun bangsa Indonesia diperlukan kerjasama antar
desa dan kota.
tugas ILMU SOSIAL DASAR
Peranan Pemuda dalam membangun bangsa | |||
Pepatah mengatakan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal
sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selama tiga setengah
abad hidup dalam cengkeraman Belanda di tambah lagi hidup dalam
penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun. Kemudian, kemerdekaan yang
kita raih adalah bukti nyata dari sebuah pengorbanan yang sangat besar
dari semua komponen bangsa. Pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan
bangsa yang adil, makmur serta berdaulat dengan berlandaskan azas
pancasila serta UUD 1945 tidak akan pernah tercapai jika tidak di dukung
oleh semua rakyat Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia
menganut asas demokrasi yang bersumber kepada nilai- nilai kehidupan
yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Perwujudan dari asas
demokrasi itu diartikan sebagai paham kedaulatan rakyat, yang bersumber
kepada nilai kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan. Demokrasi
ini juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap nilai- nilai
musyawarah yang mencerminkan kesungguhan dan tekad dari bangsa Indonesia
untuk berdiri diatas kebenaran dan keadilan.
Nilai- nilai kesanggupan dan kerelaan untuk berkorban dengan penuh
keikhlasan dan kejujuran dalam mengisi kemerdekaan demi kepentingan
bangsa dan negara telah digantikan oleh kerelaan berkorban hanya untuk
mengisi kesenangan dan kemakmuran pribadi pihak- pihak tertentu.
Terjadinya Kolusi Korupsi Nepotisme pada masa pemerintahan Orde Baru
merupakan bukti nyata pengingkaran terhadap sikap keikhlasan dan
kejujuran. Tidak hanya itu Indonesia mengalami krisis multi dimensi yang
demikian pelik, mulai dari krisis moral, krisis ekonomi, krisis
kepercayaan, hingga krisis kepemimpinan. Tumbanganya pemerintahan Orde
Baru pada 21 Mei 1998 masih segar dalam ingatan kita bahwa pemerintahan
yang tidak bersih dan mengabaikan rasa keadilan tidak akan mendapat
dukungan dan kepercayaan dari rakyat. Benarlah apa yang dikatakan
pujangga Mesir Syauqy Beyq : Suatu bangsa yang kokoh bertahan. Selama
akhlak mewarnai kehidupan.
Setiap orang pasti merindukan pemerintah yang bersih, jujur, kuat,
berani dan berwibawa. Harapan itu merupakan amanat dari Pancasila dan
UUD 1945 yang selalu mendambakan pemerintahan yang memiliki moral
kemanusiaan dengan semangat kebangsaan. Disamping itu, peran pemuda
dalam mengisi kemerdekaan serta pembangunan nasional telah memberikan
dampak positif bagi pertumbuhan bangsa. Kepeloporan pemuda dalam
pembangunan bangsa dan negara harus dipertahankan sebagai generasi
penerus yang memiliki jiwa pejuang, perintis dan kepekaan terhadap
social, politik dan lingkungan. Hal ini dibarengi pula oleh sikap
mandiri, disiplin, dan memiliki sifat yang bertanggungjawab, inovatif,
ulet, tangguh, jujur, berani dan rela berkorban dengan dilandasi oleh
semangat cinta tanah air.
Maka hasil dari sebuah refleksi dari kepemimpinan pemerintah selama ini
mengatakan generasi terdahulu belum bisa menunjukan dirinya sebagai
pemimpin. Dalam berbagai kebijakan-kebijakannya pemerintah tidak pro
rakyat. Kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan-bahan pokok, serta
bahan-bahan baku lainnya adalah bukti dari dampak kebijakan pemerintah
yang tidak pro rakyat. Mereka masih berpegang teguh pada aturan lama
yang selalu memihak kelompok berduit.
Kenyataan ini telah disadari oleh kaum muda Indonesia. Kesadaran yang
diharapkan mendorong segenap kaum muda untuk segera mempersiapkan dan
merancang prosesi pergantian generasi. Karena pada hakikatnya kita
membutuhkan wajah-wajah baru. Sehingga muka lama yang hampir usang itu
bisa tergantikan dengan muka baru yang lebih muda serta juga memiliki
cita-cita dan semangat baru.
Indonesia membutuhkan pemimpin dari kaum muda yang mampu
merepresentasikan wajah baru kepemimpinan bangsa. Ini bukan tanpa
alasan, karena kaum muda dapat dipastikan hanya memiliki masa depan dan
nyaris tidak memiliki masa lalu. Dan ini sesuai dengan kebutuhan
Indonesia kini dan ke depannya yang perlu mulai belajar melihat ke
depan, dan tidak lagi berasyik-masyuk dengan tabiat yang suka melihat ke
belakang. Kita harus segera maju ke kepan dan bukan berjalan ke masa
lalu. Dan secara filosofisnya, masa depan itu adalah milik kaum muda.
Mereka lebih steril dari berbagai penyimpangan orde yang telah lalu.
Mereka tidak memiliki dendam masa lalu dengan lawan politiknya. Mereka
tidak memiliki kekelaman masa lalu. Mereka juga tidak memiliki trauma
masa lalu yang sangat mungkin akan membayang-bayangi jika nanti
ditakdirkan memimpin. Lebih dari itu, kaum muda paling memiliki masa
depan yang bisa mereka tatap dengan ketajaman dan kecemerlangan visi
serta memperjuangkannya dengan keberanian dan energi yang lebih baru.
Dalam perjalanan zaman, sejarah baru selalu ditandai dengan lahirnya
generasi baru. Dalam kancah sejarah, generasi baru yang mengukir sejarah
baru itu adalah dari kalangan kaum muda. Perputaran sejarah juga telah
membuktikan bahwa setiap generasi itu ada umurnya. Dengan demikian,
nama-nama yang muncul sekarang sebagai calon pemimpin yang sebenarnya
adalah satu generasi, juga ada umurnya.
Inilah peluang yang mesti dijemput oleh kaum muda saat ini. Sebuah
peluang untuk mempertemukan berakhirnya umur generasi itu dengan muara
dari gerakan kaum muda untuk menyambut pergantian generasi dan menjaga
perputaran sejarah dengan ukiran-ukiran prestasi baru. Maka, harapannya
adalah bagaimana kaum muda tidak membiarkan begitu saja sejarah
melakukan pergantian generasi itu tanpa kaum muda menjadi subjek di
dalamnya.
sumber : http://pkknpipadaherang.blogspot.com/2012/04/peranan-pemuda-dalam-pembangunan-bangsa.html
Peranan keluarga dalam membangun bangsa
Bangsa
Indonesia telah mengalami pergeseran nilai dan karakter bangsa yang
kian memprihatinkan. Nilai kejujuran yang menjadi indikator utama
integritas sosial, kini seolah mulai tercerabut dari akar budaya bangsa
ini. Ajaran adiluhung para pendiri bangsa untuk “bangunlah jiwanya dan
bangunlah badannya”, seolah mengalami pembelokan. Bukannya berfokus membangun jiwa dan karakter bangsa, selama ini kita justru sibuk berlomba memoles wajah bangsa
ini dengan pembangunan materi tanpa kejelasan fungsi. Lantas, bagaimana
menciptakan bangsa yang berkarakter apabila generasi muda bangsa
sekarang justru sudah terkontaminasi oleh cara pandang dan perilaku yang
menyimpang?
Banalitas Kejahatan
Kasus
contek massal yang diungkap Siami merupakan contoh konkret bagaimana
pergeseran nilai itu terjadi. Besar kemungkinannya, kasus tersebut
merupakan fenomena gunung es. Jika realitas itu dapat diungkap secara
jelas, hampir bisa dipastikan kenyataan yang ada justru akan membuat
para pembuat kebijakan di negara ini lemas seketika. Kasus contek massal
ini pada kenyataannya tidak hanya terjadi di sekolah tempat anak Siami
belajar, tetapi juga terjadi di Sulawesi dan Jakarta Selatan, bahkan
mungkin hampir di seluruh wilayah Indonesia pada saat siswa mengikuti
Ujian Nasional (UN). Mencontek tidak lagi menjadi perilaku tabu. Sejak
usia dini, anak telah diajarkan pola dan model perilaku yang menyimpang,
tidak patut, dan menghalalkan segala cara. Seolah tumbuh kebanggaan
besar dalam benak mereka ketika berhasil “mengakali” hukum dan aturan,
kendati harus menabrak prinsip etika sosial dan menginjak-injak ajaran
suci keagamaan sekalipun.
Jika
benar fenomena tersebut terjadi secara massal dan mengalami pengulangan
dalam skala luas, maka ancaman lahirnya generasi patologis akan menjadi
nyata. Perilaku korup seolah menjadi fenomena wajar yang sengaja
dilestarikan hingga memberikan warna baru terhadap karakter budaya suatu
masyarakat. Fenomena inilah yang disebut oleh Hannah Arend (1980)
sebagai ‘the banality of evil’ atau ‘banalitas kejahatan’. Di mana perilaku yang menyimpang dari etika sosial dan aturan legal-formal, yang kemudian di-stereotype sebagai sikap ‘jahat’, justru dipandang sebagai perilaku yang “banal” atau biasa alias lumrah. Sebaliknya,
mereka yang tidak mengikuti trend dan kecenderungan perilaku menyimpang
tersebut, justru dipandang sebagai pihak yang, meminjam istilahnya Eric
Fromm (2003), telah “teralienasi”.
Kecenderungan
sosial semacam itu kini benar-benar terbukti. Siami, orang tua siswa
berinisial AL yang berusaha menguak fakta kebenaran tentang fenomena
contek massal, justru harus menanggung resiko besar. Kejujuran yang dia
suarakan justru berbuah pahit. Siami dan keluarganya harus menanggung
malu karena dikucilkan, dicaci, dimaki, disingkirkan, bahkan diusir paksa oleh warga di kampung halamannya di Desa Gadel, Surabaya. Siami
mungkin lupa, bahwa kebenaran di negeri ini mahal harganya. Bahkan,
sebut saja Bapak X di Jakarta yang merupakan seorang mantan guru juga
harus mengalami tindakan “dinon-aktifkan” dari pekerjaannya akibat
keberaniannya mengungkap tindak kecurangan saat Ujian Nasional yang
terjadi di sekolah tempat ia pernah mengajar.
Masyarakat bangsa ini, seolah-olah mengalami “split personality”, atau
kepribadian yang terbelah. Artinya, dalam pola interaksi dan komunikasi
sosial kemasyarakatan, tidak sedikit simbol-simbol agama digunakan,
jargon-jargon moral dan etika sosial dikibarkan. Tetapi dalam perilaku
keseharian, idealitas itu bisa melenceng tajam. Setiap hari ayat-ayat
kitab suci dikumandangkan, tetapi pada saat yang sama perilaku korupsi
juga terus dilestarikan. Setiap hari jargon-jargon hukum dan etika-moral
sosial dikampanyekan, tetapi pada saat yang sama, kecurangan,
kekerasan, penipuan, dan diskriminasi terhadap nilai-nilai sosial juga
terus dijalankan. Seolah ajaran-ajaran moral-spiritual yang universal
itu tidak lagi berbekas. Tak ayal, kualitas bangsa ini yang diukur dari
HDI harus berada di posisi 108 dari 188 negara di dunia pada tahun 2009.
Bahkan bangsa Indonesia harus bertengger di posisi puncak sebagai
negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik untuk periode 2008-2010
menurut PERC (Political & Economic Risk Consultancy) dengan indeks
korupsi yang meningkat tajam dari 8.32 pada tahun 2009 menjadi menjadi
9.07 tahun 2010. Data lain menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masuk
dalam jajaran pemerintahan paling kotor nomor lima sedunia versi KPK.
Revitalisasi keluarga
Paulo Freire (1970) berpesan, sekolah hendaknya tidak hanya diposisikan sebagai media transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga harus difungsikan sebagai media pembentukan karakter positif bagi setiap individu yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Sehingga out put pendidikan tidak hanya menghasilkan masyarakat yang berpengetahuan (well-educated people), tetapi juga mampu menciptakan sebuah masyarakat yang tercerahkan dan terbebaskan (enlightened and liberalized society).
Caranya, reformulasi kurikulum perlu dilakukan dengan menitikberatkan pada pembentukan karakter anak. Pendidikan
sebaiknya lebih diarahkan pada penanaman sifat-sifat keuletan,
kesabaran, bekerja keras, tolerasi, dan berintegritas. Sehingga proses
belajar dapat diarahkan untuk mencetak siswa yang memiliki semangat
berkompetisi (fighting spirit) yang prima, tanpa harus
terjebak dalam budaya dan perilaku instan. Kolektivitas dan semangat
bekerja sama Antar siswa dalam kelas juga perlu ditumbuhkan untuk
menghindarkan mereka dari suasa cemburu (jealous) yang berujung
pada sikap saling menjatuhkan. Prinsip-prinsip dasar etika yang juga
harus diprioritaskan dalam agenda reformulasi kurikulum pendidikan.
Hal
penting lain yang perlu dilakukan adalah, revitalisasi peran keluarga
dalam upaya penanaman prinsip etika-moral sosial dan keagaman dalam
pembentukan watak dan karakter anak. Keluarga
merupakan institusi primer dan fundamental bagi individu untuk
mengajarkan dan menerima pendidikan dan pengajaran nilai-nilai karakter.
Semakin banyak nilai-nilai positif yang ditanamkan, semakin besar
harapan sang anak akan tumbuh menjadi pribadi dewasa yang bertanggung
jawab, toleran, dan berintegritas. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan Megawangi pada tahun 2003 menunjukkan
bahwa penanaman pendidikan karakter sejak usia dini di lingkungan
keluarga akan menghasilkan sikap kepribadian positif anak ketika dewasa.
Keluarga
merupakan unit terkecil di mana orang tua mempunyai peranan yang besar
dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap
awal maupun tahap-tahap kritisnya karena lingkungan keluarga merupakan
media untuk menumbuhkan dan mengembangkan karakter positif mereka.
Selain itu, nilai-nilai sosial, norma agama, serta prinsip hidup yang
diinternalisasikan melalui persinggungan dan interaksi sosial anak yang
intensif dengan anggota keluarga akan lebih mudah menancap kuat di alam
kesadaran anak yang kelak akan ‘sistem kontrol internal’ bagi perilaku mereka.
Karena itu, teladan sikap orang tua sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak-anak. Hal
ini penting karena pada fase perkembangan manusia, usia anak adalah
tahapan untuk mencontoh sikap dan perilaku orang di sekitar mereka.
Terutama bagi anak usia sekolah yaitu usia 6 sampai dengan 12 tahun,
menurut teori Social Learning Vygotsy, sikap teladan orang tua
menjadi hal yang vital karena pada usia tersebutlah mereka butuh
penguatan karakter dari lingkungan sekitar. Dengan sikap dan teladan
yang baik ditambah dengan penguatan ‘emotional bonding’ antara
anak dengan orang tua, upaya infiltrasi nilai-nilai moral dan karakter
yang baik pada anak akan lebih mudah untuk dilakukan. Selain itu, sikap
keterbukaan antara anak dan orang tua juga sangat dibutuhkan untuk
menghindari anak dari pengaruh pergeseran nilai-nilai negatif yang ada
di luar lingkungan keluarga, termasuk di lingkungan sekolah.
Dengan
demikian, diharapkan dalam rangka memperingati Hari Keluarga 29 Juni,
peran keluarga sebagai unit pertama dan utama bagi penanaman nilai-nilai
karakter bagi anak dapat kembali digalakkan fungsinya. Sehingga
nilai-nilai karakter akan tertanam kuat di diri anak-anak kita. Apabila
hal tersebut telah terlaksana, anak-anak dengan sendirinya akan dapat
bersikap dan berperilaku sesuai dengan tahap perkembangannya. Karena
dengan penguatan karakter individu anak, diharapkan mereka tidak mudah
terbawa arus perkembangan negatif di lingkungan sekitar, termasuk di
lingkungan sekolah.
Dengan
demikian, berbagai kasus yang terjadi akhir-akhir ini mengenai
pergeseran nilai karakter bangsa yang terjadi pun di lingkungan
pendidikan dapat menuntun para orang tua sebagai penanggung jawab
perkembangan anaknya untuk dapat menguatkan kembali fungsi keluarga
sebagai benteng pertahanan bagi terjadinya pergeseran nilai-nilai
karakter bangsa.****SUMBER : http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=189%3Akeluarga-dan-karakter-bangsa-&catid=20%3Aterbaru&Itemid=94&lang=id Peran Masyarakat Desa dan Kota dalam Pembangunan Indonesia
Masyarakat
pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama
lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar di antara keduanya terdapat hubungan yang
erat, bersifat ketergantungan, karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota
tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan
seperti beras, sayur-
mayur,
daging dan ikan.Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis
pekerjaan tertentu di kota, misalnya saja buruh bangunan dalam proyek-proyek
perumahan, proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan
tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja-pekerja musiman. Pada saat
musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan di bidang pertanian
mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat
untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
Sebaliknya, kota menghasilkan
barang-barang yang juga diperlukan oleh orang desa seperti bahan-bahan pakaian,
alat dan obat-obatan pembasmi hama pertanian, minyak tanah, obat-obatan untuk
memelihara kesehatan dan alat transportasi. Kota juga menyediakan tenaga-tenaga
yang melayani bidang-bidang jasa yang dibutuhkan oleh orang desa tetapi tidak
dapat dilakukannya sendiri, misalnya saja tenaga-tenaga di bidang medis atau
kesehatan, montir-
montir,
elektronika dan alat transportasi serta tenaga yang mampu memberikan bimbingan
dalam upaya peningkatan hasil budi daya pertanian, peternakan ataupun perikanan
darat.
Dalam kenyataannya hal ideal
tersebut kadang-kadang tidak terwujud karena adanya beberapa pembatas. Jumlah
penduduk semakin meningkat, tidak terkecuali di pedesaan. Padahal, luas lahan
pertanian sulit bertambah, terutama di daerah yang sudah lama berkembang
seperti pulau Jawa.
Peningkatan hasil pertanian hanya
dapat diusahakan melalui intensifikasi budi daya di bidang ini. Akan tetapi,
pertambahan hasil pangan yang diperoleh melalui upaya intensifikasi ini, tidak
sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga pada suatu saat hasil
pertanian suatu daerah pedesaan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
penduduknya saja, tidak kelebihan yang dapat dijual lagi. Dalam keadaan semacam
ini, kotaterpaksa memenuhi kebutuhan pangannya dari daerah lain, bahkan
kadang-kadang terpaksa mengimpor dari luar negeri. Peningkatan jumlah penduduk
tanpa diimbangi dengan perluasan kesempatan kerja ini pada akhirnya berakibat
bahwa di pedesaan terdapat banyak orang yang tidak mempunyai mata pencaharian tetap.
Mereka ini merupakan kelompok pengangguran, baik sebagai pengangguran penuh
maupun setengah pengangguran.
Sumber: https://hendraprijatna68.files.wordpress.com
Opini:
Masyarakat desa dan masyarakat kota saling berhubungan erat untuk
membangun negara Indonesia. Desa merupakan sumber kebutuhan hidup
manusia, karena sumber tanaman padi, sayur, dll berasal dari desa.
Sedangkan kota juga bermanfaat bagi desa. Hal ini sangat berhubungan
erat, maka untuk membangun bangsa Indonesia diperlukan kerjasama antar
desa dan kota.
|
Langganan:
Postingan (Atom)