OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai
hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara
("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18
Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di
atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan
politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan
dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi
di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat
ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian
kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan
otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa
dasar pertimbangan[3]:
1.
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan
sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi
federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3.
Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga
Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk
memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak
tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan
nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai
landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang
pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan
ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai
secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak
prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru,
terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh
kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam
kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas
administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya
disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau
Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
2.
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah
atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di
daerah;[7] dan
3. Tugas
Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh
Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya
dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]
Dalam
kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati
II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa
jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai
pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya,
atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili
Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]
Berkaitan
dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang
dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan
pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan
perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan
serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan
melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara,
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala
Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan
peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas
wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan
perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d)
memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan
berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13]
Dari
dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa
UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam
prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat)
yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan
Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5
Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap
pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya
serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi
dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan
proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih
demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim
Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas
nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:
1.
melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti
mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada
masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi
yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu
dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal
yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip
undang-undang sebelumnya antara lain :
1.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih
mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting
kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
melalui prakarsanya sendiri.
2.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama
dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada
daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan
keanekaragaman daerah.
3.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif,
serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh
karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara
utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah
yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam
Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua
kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam,
peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu
diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang
yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti
menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang
sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam
melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan
kepadanya.
6. Kabupaten dan
Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam
hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat
dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah
kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di
daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai
penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh
pemerintah.
7. Wilayah
Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus
dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan
dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
8.
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah
lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi
pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan
bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah
administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD
sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh
pejabat yang berwenang.
10.
Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan
pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah,
daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat
dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan
menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11.
Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan
dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh
DPRD.
12. Daerah diberi
kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang
ditetapkan pemerintah.
13.
Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada
propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah
otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian
kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan
pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang
perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan
bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk
berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14.
Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan
dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern
oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar
daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki
kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah,
Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis
Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah.
Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada
daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten
Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat
meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala
daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
Pembiayaan Daerah
Pembiayaan
daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik
penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima
kembali, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan
untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan
pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman, dan hasil
divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk
pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas
lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
Penerimaan
pembiayaan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Daerah antara lain
berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil
privatisasi perusahaan daerah, penerimaan kembali pinjaman yang
diberikan kepada fihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya, dan
pencairan dana cadangan.
Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan
pembiayaan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Daerah antara lain
berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil
privatisasi perusahaan daerah, penerimaan kembali pinjaman yang
diberikan kepada fihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya, dan
pencairan dana cadangan. Penerimaan pembiayaan diakui pada saat
diterima pada Rekening Kas Umum Daerah. Akuntansi penerimaan pembiayaan
dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan
bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan
pengeluaran). Pencairan Dana Cadangan mengurangi Dana Cadangan yang
bersangkutan.
Penerimaan pembiayaan mencakup:
a) sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA)
b) pencairan dana cadangan
c) hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
d) penerimaan pinjaman daerah
e) penerimaan kembali pemberian pinjaman
f) penerimaan piutang daerah.
Pengeluaran Pembiayaan
Pengeluaran
pembiayaan adalah semua pengeluaran Rekening Kas Umum Daerah antara
lain pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal
pemerintah, pembayaran kembali pokok pinjaman dalam periode tahun
anggaran tertentu, dan pembentukan dana cadangan. Pengeluaran pembiayaan
diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Daerah.
Pembentukan
Dana Cadangan menambah Dana Cadangan yang bersangkutan. Hasil-hasil
yang diperoleh dari pengelolaan Dana Cadangan di pemerintah daerah
merupakan penambah Dana Cadangan. Hasil tersebut dicatat sebagai
pendapatan dalam pos pendapatan asli daerah lainnya.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. pembentukan dana cadangan
b. penerimaan modal (investasi) pemerintah daerah
c. pembayaran pokok utang
d. pemberian pinjaman daerah.
Sumber Pendapatan daerah
Faktor
keuangan merupakan faktor yang esensial dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan
daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam kegiatan yang akan dilakukan
oleh Pemerintah Daerah.
Sumber pendapatan daerah menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terdiri dari :
1. Pendapatan Asli Daerah, yaitu:
a) hasil pajak daerah;
b) hasil retribusi daerah;
c) hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
2. dana perimbangan;
3. pinjaman daerah;
4. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dari
sejumlah pendapatan daerah tersebut di atas, upaya penghimpunan yang
paling diutamakan adalah pada pendapatan asli daerah (PAD), mengingat
PAD adalah sumber yang sering dijadikan ukuran sebagai kemampuan daerah
dalam menyelenggarakan otonomi daerah dan salah satu sumber PAD yang
dominan setelah pajak daerah.
Ketentuan
mengenai pajak dan retribusi daerah beserta potensinya diatur secara
terpisah dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Untuk mendorong efisiensi, maka Undang-undang
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini memberikan suatu
penyederhanaan atas banyaknya jenis pajak dan retribusi daerah di masa
yang lalu yang cenderung mengakibatkan timbulnya biaya ekonomi tinggi.
Berdasarkan suatu studi, jumlah dan jenis pajak dan retribusi menjadi
turun, sebagai contoh untuk Kota Surabaya terjadi penurunan jenis Pajak
dan Retribusi dari 86 menjadi 27 jenis. Contoh lainnya yaitu Kebupaten
Deli Serdang dari 42 menjadi 20 jenis (Mahi, 2000:58-59).
Pinjaman Daerah
Pinjaman
Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima
sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
DASAR HUKUM
1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
4. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
5. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
6. PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
7.
PP Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau
Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri;
8.
Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas No. 005/M.PPN/06/2006 tentang Tatacara Perencanaan dan
Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri;
9.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan Pinjaman Daerah;
10.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara
Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.
PRINSIP DASAR PINJAMAN DAERAH
1.
Pinjaman Daerah adalah salah satu alternatif sumber pembiayaan Daerah
dalam pelaksanaan desentralisasi, termasuk untuk menutup kekurangan arus
kas;
2. Pinjaman Daerah
digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan
kewenangan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan;
3. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri;
4. Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya berasal dari luar negeri (On-Lending);
5.
Tidak melebihi Batas Defisit APBD dan Batas Kumulatif Pinjaman Daerah
yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PERENCANAAN PINJAMAN DAERAH
Proses Perencanaan Pinjaman Jangka Menengah dan Panjang Pemerintah Daerah
PERSYARATAN PINJAMAN
1.
Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik
tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
2. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (DSCR) paling sedikit 2,5;
3. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah;
4. Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang dilakukan dengan persetujuan DPRD.
SUMBER PINJAMAN
1. Pemerintah;
1. Pendapatan Dalam Negeri (Rekening Pembangunan Daerah);
2. Pinjaman Luar Negeri (Subsidiary Loan Agreement (SLA)/on-lending)
2. Pemerintah daerah lain;
3. Lembaga keuangan Bank;
4. Lembaga Keuangan bukan Bank; dan
5. Masyarakat
Pinjaman
daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan melalui Menteri
Keuangan, sedangkan pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat
berupa Obligasi Daerah diterbitkan melalui pasar modal.
JENIS DAN JANGKA WAKTU PINJAMAN
1. Pinjaman Jangka Pendek
Merupakan
pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun
anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain) seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran
yang bersangkutan.
2. Pinjaman jangka Menengah
Merupakan
pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan
kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya
lain) harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa
jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
3. Pinjaman Jangka Panjang
Merupakan
pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan
kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya
lain) harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan
persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
PENGGUNAAN PINJAMAN
1. Pinjaman Jangka pendek dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas;
2. Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan;
3. Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan*);
*)
yang dimaksud dengan “proyek investasi menghasilkan penerimaan” adalah
proyek prasarana dan atau sarana yang menghasilkan pendapatan bagi APBD
yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan atau sarana
tersebut.
PROSEDUR PINJAMAN
Prosedur pinjaman daerah dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu :
1. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dari Pinjaman Luar Negeri.
2. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber selain dari Pinjaman Luar Negeri.
3.
Pinjaman Daerah dari sumber Selain Pemerintah baik pinjaman jangka
pendek maupun pinjaman jangka panjang. Pinjaman ini dapat dilakukan
sepanjang tidak melampau batas kumulatif Pinjaman Pemerintah dan Pemda.
LARANGAN PENJAMINAN
1. Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain;
2. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan;
3.
Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah
yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi
Daerah.
PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN
1. Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan;
2.
Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada
Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan
DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan negara yang menjadi hak
daerah tersebut.
PELAPORAN PINJAMAN
1.
Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan
kewajiban pinjaman kepada Pemerintah setiap semester dalam tahun
anggaran berjalan;
2. Dalam hal daerah tidak menyampaikan laporan, Pemerintah dapat menunda penyaluran Dana Perimbangan.