Selasa, 09 Oktober 2012

TAWURAN PELAJAR

Peristiwa tawuran pelajar seperti tidak pernah berhenti, terus terjadi. Sejarah tawuran pelajar memang sudah lama berlangsung di berbagai wilayah.
Di Jakarta, bentrokan antarpelajar tampaknya juga sudah terjadi sejak lama. Berita Kompas edisi 29 Juni 1968 memuat artikel ”Bentrokan Peladjar Berdarah”. Perkelahian pelajar tahun 1968 itu membuat Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, harus turun tangan mengingatkan para pelajar yang sedang berselisih itu. Meski tidak diketahui sejak kapan mulainya tawuran pelajar, dari artikel tahun 1968 itu tercatat hingga bulan ini tawuran pelajar kerap mengisi pemberitaan walaupun dengan frekuensi yang bervariasi.
Belum ada data kuantitatif yang jelas tentang jumlah perkelahian pelajar, tetapi jika merujuk pada data dari kepolisian terlihat peningkatan eskalasi. Kejadian bentrok pelajar dalam tiga tahun terakhir meningkat, tercatat 11 kali pada 2009, sebanyak 28 kali pada 2010, dan naik menjadi 31 kali sampai bulan Juni 2011 saja.
Dari jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, sebagian besar responden (55,9 persen) secara nasional mengatakan tawuran pelajar makin berkurang. Namun, dua kota, Jakarta dan Medan, mengindikasikan jumlah tawuran di kota mereka sama saja bahkan bertambah jumlahnya. Apakah ini berarti Jakarta memasuki era sebagaimana tahun 1980 hingga 1990-an yang banyak dijejali peristiwa bentrokan?

Budaya populer
Dari jajak pendapat Kompas dengan responden di 12 kota seluruh Indonesia, diketahui sebanyak 17,5 persen responden mengakui bahwa saat dia bersekolah SMA sekolahnya itu pernah terlibat tawuran antarpelajar. Tidak sedikit pula responden atau keluarga responden yang mengaku pada masa bersekolah terlibat tawuran atau perkelahian massal pelajar. Jumlahnya mencapai 6,6 persen atau sekitar 29 responden.
Berbagai keprihatinan muncul atas tawuran pelajar yang seolah tiada henti. Jelas ”budaya” tawuran pelajar harus segera di hentikan. Namun, bagaimanakah menghentikan kekerasan yang seakan terus terjadi tersebut?
Berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya menggabungkan sekolah yang sering tawuran menjadi satu. Dalam kasus tawuran di SMA 9 dan SMA 11 Jakarta, dilakukan langkah penggabungan dua sekolah menjadi SMA 70. Namun, hawa tawuran ternyata tak surut. Malahan SMA 70, yang menjadi sangat banyak muridnya itu, menjadi lawan para siswa SMA 6, tetangganya sendiri. Catatan menunjukkan, kedua SMA itu telah terlibat tawuran sejak tahun 1980-an.
Salah satu upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan adalah memindahkan letak sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu ramai di tengah kota mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi siswa. Di sepanjang periode 1980-an, SMA 7 Gambir Jakarta terlibat konflik eksesif dengan STM Boedi Oetomo Pejambon. Kemudian di awal tahun 1990-an SMA 7 dipindahkan ke wilayah Karet Pejompongan untuk memutus tawuran dengan STM Boedi Oetomo.
Konflik mereda, tetapi tak benar-benar pupus. Malahan, kini tawuran pelajar cenderung meluas. Tidak hanya melawan ”sesama” pelajar SMA, tetapi makin berani mengarah ke pihak lain sebagaimana kasus pengeroyokan terhadap wartawan berbagai media baru-baru ini oleh siswa SMA 70 Jakarta.

Kegelisahan diturunkan
Sulit dimungkiri bahwa soal tawuran tak semata terjadi akibat konflik antarindividu atau kolektif siswa SMA. Lingkungan perkotaan yang makin tak menyisakan ruang eksistensi bagi anak muda juga berperan. Sebanyak 65,3 persen responden menilai, faktor lingkungan yang buruk di mana siswa mudah mengakses minuman keras dan narkoba membuat mereka rentan terseret dalam tawuran.
Seorang responden yang pernah terlibat tawuran mengatakan, hal itu dilakukan sebagai bentuk solidaritas pertemanan.
Salah satu yang seharusnya mampu dicegah adalah diturunkannya konflik pelajar atau siswa kepada angkatan yang lebih muda. Seorang responden yang menjadi siswa SMA di awal periode 1990-an menuturkan, para kakak kelas mengajak, bahkan setengah mengancam adik kelas, agar terlibat tawuran untuk mendukung sekolah. Bukan hanya siswa laki-laki, siswa perempuan pun dilibatkan untuk menyembunyikan berbagai benda untuk tawuran.
Mayoritas publik juga menengarai kekerasan memang diturunkan. Sebanyak 63,4 persen responden berpendapat bahwa tawuran pelajar diturunkan dari kakak kelas pada siswa baru di sekolah tersebut.(Kendar Umi Kulsum/Litbang Kompas)


sumber :  http://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/21/02385365/Tawuran.Pelajar.Tak.Kunjung.Surut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar