Peristiwa tawuran pelajar seperti tidak pernah berhenti, terus
terjadi. Sejarah tawuran pelajar memang sudah lama berlangsung di
berbagai wilayah.
Di Jakarta, bentrokan antarpelajar tampaknya juga sudah terjadi sejak lama. Berita Kompas
edisi 29 Juni 1968 memuat artikel ”Bentrokan Peladjar Berdarah”.
Perkelahian pelajar tahun 1968 itu membuat Gubernur DKI Jakarta saat
itu, Ali Sadikin, harus turun tangan mengingatkan para pelajar yang
sedang berselisih itu. Meski tidak diketahui sejak kapan mulainya
tawuran pelajar, dari artikel tahun 1968 itu tercatat hingga bulan ini
tawuran pelajar kerap mengisi pemberitaan walaupun dengan frekuensi yang
bervariasi.
Belum ada data kuantitatif yang jelas tentang jumlah
perkelahian pelajar, tetapi jika merujuk pada data dari kepolisian
terlihat peningkatan eskalasi. Kejadian bentrok pelajar dalam tiga tahun
terakhir meningkat, tercatat 11 kali pada 2009, sebanyak 28 kali pada
2010, dan naik menjadi 31 kali sampai bulan Juni 2011 saja.
Dari jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas,
sebagian besar responden (55,9 persen) secara nasional mengatakan
tawuran pelajar makin berkurang. Namun, dua kota, Jakarta dan Medan,
mengindikasikan jumlah tawuran di kota mereka sama saja bahkan bertambah
jumlahnya. Apakah ini berarti Jakarta memasuki era sebagaimana tahun
1980 hingga 1990-an yang banyak dijejali peristiwa bentrokan?
Budaya populer
Dari jajak pendapat Kompas
dengan responden di 12 kota seluruh Indonesia, diketahui sebanyak 17,5
persen responden mengakui bahwa saat dia bersekolah SMA sekolahnya itu
pernah terlibat tawuran antarpelajar. Tidak sedikit pula responden atau
keluarga responden yang mengaku pada masa bersekolah terlibat tawuran
atau perkelahian massal pelajar. Jumlahnya mencapai 6,6 persen atau
sekitar 29 responden.
Berbagai keprihatinan muncul atas tawuran
pelajar yang seolah tiada henti. Jelas ”budaya” tawuran pelajar harus
segera di hentikan. Namun, bagaimanakah menghentikan kekerasan yang
seakan terus terjadi tersebut?
Berbagai upaya telah dilakukan,
salah satunya menggabungkan sekolah yang sering tawuran menjadi satu.
Dalam kasus tawuran di SMA 9 dan SMA 11 Jakarta, dilakukan langkah
penggabungan dua sekolah menjadi SMA 70. Namun, hawa tawuran ternyata
tak surut. Malahan SMA 70, yang menjadi sangat banyak
muridnya itu, menjadi lawan para siswa SMA 6, tetangganya sendiri.
Catatan menunjukkan, kedua SMA itu telah terlibat tawuran sejak tahun 1980-an.
Salah
satu upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan adalah
memindahkan letak sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu
ramai di tengah kota mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi
siswa. Di sepanjang periode 1980-an, SMA 7 Gambir Jakarta terlibat
konflik eksesif dengan STM Boedi Oetomo Pejambon. Kemudian di awal tahun
1990-an SMA 7 dipindahkan ke wilayah Karet Pejompongan untuk memutus
tawuran dengan STM Boedi Oetomo.
Konflik mereda, tetapi tak
benar-benar pupus. Malahan, kini tawuran pelajar cenderung meluas. Tidak
hanya melawan ”sesama” pelajar SMA, tetapi makin berani mengarah ke
pihak lain sebagaimana kasus pengeroyokan terhadap wartawan berbagai
media baru-baru ini oleh siswa SMA 70 Jakarta.
Kegelisahan diturunkan
Sulit
dimungkiri bahwa soal tawuran tak semata terjadi akibat konflik
antarindividu atau kolektif siswa SMA. Lingkungan perkotaan yang makin
tak menyisakan ruang eksistensi bagi anak muda juga berperan. Sebanyak
65,3 persen responden menilai, faktor lingkungan yang buruk di mana
siswa mudah mengakses minuman keras dan narkoba membuat mereka rentan
terseret dalam tawuran.
Seorang responden yang pernah terlibat tawuran mengatakan, hal itu dilakukan sebagai bentuk solidaritas pertemanan.
Salah
satu yang seharusnya mampu dicegah adalah diturunkannya konflik pelajar
atau siswa kepada angkatan yang lebih muda. Seorang responden yang
menjadi siswa SMA di awal periode 1990-an menuturkan, para kakak kelas
mengajak, bahkan setengah mengancam adik kelas, agar terlibat tawuran
untuk mendukung sekolah. Bukan hanya siswa laki-laki, siswa perempuan
pun dilibatkan untuk menyembunyikan berbagai benda untuk tawuran.
Mayoritas
publik juga menengarai kekerasan memang diturunkan. Sebanyak 63,4
persen responden berpendapat bahwa tawuran pelajar diturunkan dari kakak
kelas pada siswa baru di sekolah tersebut.(Kendar Umi Kulsum/Litbang
Kompas)
sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/21/02385365/Tawuran.Pelajar.Tak.Kunjung.Surut